Pemerintah Tak Berpihak dan Regulasi Tak Adil, Kesejahteraan Buruh Pabrik Tak Pernah Terwujud!

- 23 November 2023, 12:25 WIB
Ilustrasi: Kesejahteraan buruh pabrik hingga kini tak pernah terwujud, akibat pemerintah belum berpihak.kepada buruh dan regulasi belum adil
Ilustrasi: Kesejahteraan buruh pabrik hingga kini tak pernah terwujud, akibat pemerintah belum berpihak.kepada buruh dan regulasi belum adil /PR Sumedang/Adang Jukardi/
 
PR SUMEDANG -  Bicara kesejahteraan buruh, sampai sekarang tak pernah terwujud. Justru yang ada, seperti  pribahasa sudah jatuh tertimpa tangga pula. 
 
Sudah upah buruh sekarang  jauh dari sejahtera, diperparah lagi dengan Undang-Undang Cipta Kerja yang membiarkan buruh makin tidak sejahtera. Itu lah nasib buruh pabrik saat ini.
 
"Salah satu faktor penyebabnya, pemerintah belum berpihak kepada buruh. Selain itu, regulasi yang dibuatnya pun tidak memenuhi rasa keadilan," ujar Pengajar Sekolah Politik Anggaran (SEPOLA) di Perkumpulan Inisiatif Bandung, Nandang Suherman ketika dihubungi di Sumedang, Rabu, 22 November 2023.
 
 
Sebetulnya, kata Nandang, kontribusi upah buruh sangat lah besar bagi pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah. Upah buruh sangat menentukan income percapita mereka, bahkan  bisa  mempengaruhi PDRB (Produk Domestik Regional Bruto).
 
Dengan gaji buruh, perputaran uang di daerah sangat tinggi. Mereka membelanjakan gajinya untuk kebutuhan pokok harian, perumahan, pendidikan, transportasi hingga membeli pakaian.
 
 "Belanja buruh  bisa meningkatkan sekaligus menpercepat perputaran uang  di tempat mereka tinggal. Kondisi ini bisa mendongkrak PDRB serta mempercepat pertumbuhan ekonomi. Jadi, upah buruh itu punya multiplayer effect bagi sektor lainnya," kata Nandang yang juga Dewan Daerah Forum Indonesia untuk Tranparansi Anggaran (FITRA) Jawa Barat.
 
 
 

Kenaikan UMP tak sejahterakan buruh

 
Namun sayangnya,  begitu signifikannya upah buruh terhadap peningkatan  perekonomian daerah,  tak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan mereka. 
 
Upah yang diterimanya hingga kini masih sangat minim,  kendati  sekarang UMP 2024 Jabar naik 3,57 persen dari UMP 2023  sebesar Rp1.986.670 atau kenaikannya Rp70.825 menjadi Rp2.057.495. 
 
Kenaikan UMP tersebut,  masih jauh dari harapan buruh sejahtera. Upah sebesar itu, tidak sebanding dengan beban hidupnya yang semakin berat. 
 
 
"Harga-harga mahal. Beras mahal, ongkos transport juga mahal. Dengan upah buruh sebesar itu, buruh sekedar bisa wareg (kenyang) tanpa mempertimbangkan gizi makanan dan kualitas hidupnya. Jauh untuk menabung, apalagi piknik,  " katanya.
 
Menurut Nandang, masa depan dan masa tua buruh pun, tidak terjamin karena tergantung kondisi perusahaan. Jika perusahaannya bangkrut, buruh dengan sistem kontrak tak akan mendapatkan pesangon.
 
Parahnya lagi, posisi buruh menjadi korban dari tekanan para pengusaha ketika perusahaannya terbebani biaya tinggi. Seperti halnya  beban pajak, sulitnya perizinan dan minimnya fasilitas dan infrastruktur. Ditambah lagi  gangguan pungli oleh para preman. "Nah, buruh lah yang paling mudah  ditekan oleh perusahaan," ucapnya.
 
 
Ilustrasi: Demo buruh di Sumedang
Ilustrasi: Demo buruh di Sumedang
 
Lebih jauh Nandang menjelaskan, apabila pemerintah berpihak kepada pihak swasta di sektor industri (buruh dan pengusaha, pangkas dulu tingginya beban operasional perusahaan termasuk berbagai pungli. 
 
Ketika perusahaan tidak terbebani biaya tinggi, para pengusaha tidak akan lagi membayar upah murah terhadap  buruh.  Bahkan hal itu, sekaligus akan menghapus anggapan miring upah murah menjadi primadona di Indonesia.
 
"Jadi, bantuan pemerintah untuk swasta, yakni naikan UMK buruh dan pangkas biaya tinggi perusahaan. Apalagi buruh penyumbang besar PDRB dan mampu menggeliatkan perekonomian," katanya.
 
 

Gaji ASN

Lebih jauh Nandang menjelaskan, dibanding dengan buruh, gaji ASN jauh lebih besar. Upah ASN, antara lain didapat dari gaji pokok standar nasional, tunjangan jabatan (Tunjab) dan tunjangan kinerja (Tukin). Khusus untuk Tukin, disesuaikan dengan kondisi keuangan daerah bersumber dari PAD. 
 
Bahkan Tukin ASN di Jabar  lebih tinggi dibanding provinsi lainnya di Indonesia. Termasuk Tukin di Sumedang juga,  lebih besar  ketimbang kabupaten/ kota lainnya.
 
Contoh, gaji ASN golongan rendah yakni Golongan 2A, gajinya di atas Rp 4 juta, tanpa tunjab.  Bahkan para ASN dijamin masa tuanya oleh negara dengan tunjangan pensiun.  Apalagi kini gaji ASN,  dinaikan 8% oleh pemerintah. Gaji ASN itu bagian dari belanja pemerintah.
 
 
Akan tetapi, belanja pemeritah tidak dominan dalam meningkatkan PDRB dan pertumbuhan ekonomi. Terlebih  jumlah ASN sedikit ketimbang buruh. "Jadi, tingginya gaji ASN tidak berpengaruh pada peningkatan PDRB dan pertumbuhan.ekonomi," ujarnya.
 
Secara kualitatif saja, kata Nandang, sudah ketahuan terjadi ketidakadilan pemberian porsi gaji atau upah  antara buruh dengan ASN.
 
Ironisnya, ketidakadilan itu pun, dibuat oleh pemerintah sendiri melalui berbagai regulasi yang dibuatnya. Contoh, tingginya belanja pemerintah seperti  pemberianTukin ASN , ternyata disahkan oleh DPRD. "Di sisi lain, ketika buruh berdemo ingin menaikan UMK,   para wakil rakyat  tak bisa berbuat banyak," ucapnya.
 
 

Korupsi tetap tinggi

 
Menurut dia, belanja pemerintah dari gaji pegawai pada ASN golongan rendah saja,  sudah begitu besar nominalnya. Apalagi ASN yang golongannya  tinggi atau para pejabat.
 
Niscaya,   pendapatannya pasti melimpah ruah, terutama dari Tunjab dan Tukin. Begitu pula gaji para anggota dewan sebagai wakil rakyat. Nominal  gaji antara buruh dengan ASN, terjadi gap yang terlalu jauh.
 
Kenaikan gaji ASN terutama dari Tunjab dan Tukin, merupakan kebijakan pemerintah yang disahkan melalui regulasi.
 
 
"Semangat atau tujuannya,   supaya para ASN tidak melakukan korupsi. Toh kenyataannya! Gaji pegawai dinaikan, korupsi masih tetap tinggi. Ketika  kebijakan itu dianggap gagal, tapi kan tidak serta merta Tunjab dan Tukin ASN-nya diturunkan lagi," ujar Nandang. 
 
Ia menyebutkan, ketidakberpihakan dan ketidakadilan terhadap buruh, tak terlepas dari regulasi yang dibuat para elit pemerintahan atau para pejabat tinggi termasuk para wakil rakyat.  Namun, regulasi itu dibuat untuk kepentingan pribadinya, bukan untuk kepentingan rakyat secara umum, termasuk para buruh pabrik.
 
"Dalih mereka melakukannya sudah memegang regulasi, tetapi mereka lupa bahwa atasan dari regulasi itu, moralitas dan etika," ujar Nandang menegaskan.***
 
 
 
 

Editor: Adang Jukardi


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah