Organisasi Profesi Kesehatan Pertanyakan Urgensi Omnibus UU Kesehatan

- 15 Juli 2023, 11:22 WIB
Puluhan organisasi kesehatan di Jabar menolak RUU Kesehatan Omnibuslaw di Kantor PPNI Jabar, di Jalan Pasteur, Kota Bandung beberapa waktu lalu
Puluhan organisasi kesehatan di Jabar menolak RUU Kesehatan Omnibuslaw di Kantor PPNI Jabar, di Jalan Pasteur, Kota Bandung beberapa waktu lalu /Mochamad Iqbal Maulud/

PR SUMEDANG-- Meskipun dibayang-bayangi rencana mogok kerja nasional tenaga kesehatan (nakes), UU Kesehatan yang baru tetap disahkan oleh DPR RI pada 11 Juli 2023 lalu.

Melalui organisasi profesi kesehatan, para Nakes ini sempat menolak RUU Kesehatan menjadi UU. Menurut mereka, dalam RUU menelaah beberapa pasal terdapat kecenderungan tidak berpihak pada Nakes dalam menjalankan tugasnya.

Sedikitnya, Lima alasan mengapa Undang-Undang Kesehatan yang baru ditolak oleh organisasi profesi. Kami merangkum beberapa alasan dari berbagai sumber, tentang penolakan RUU Kesehatan tersebut.

  1. Pembahasan UU Tidak transparan dan partisipatif.
  2. UU Kesehatan yang baru Tidak Urgen
  3. Dalam UU Kesehatan yang baru, ada klausul memberikan Izin Impor Dokter.
  4. Dihapusnya Anggaran Wajib dari Negara.
  5. Organisasi Profesi Tak berkepastian hukum.

Melalui unjuk rasa yang digelar 11 Juli 2023 di depan gedung DPR RI, Senayan Jakarta, ratusan tenaga kesehatan membentangkan spanduk dan poster, menolak RUU Kesehatan disahkan menjadi UU.

Alasan permasalahan tidak transparan dan partisipatif ini, disampaikan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) dan juga Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI).

PB.IDI menilai bahwa dari awal pembahasan RUU sejak Agustus 2022, pihaknya baru mengetahui pada  bulan Maret 2023.

Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) melalui lembaga pengkajian hukumnya.

Omnibus Law Kesehatan

Dalam RUU Omnibus Kesehatan ini sedikitnya 9 Undang-Undang menjadi satu.
Model omnibus akan efektif bila diaplikasikan pada kondisi complex and hyper-regulation: jumlah legislasi banyak, beragam, tumpang tindih atau terdapat kontradiksi satu dengan lainnya. Kasarnya, terdapat kompleksitas, heterogenitas dan kontradiksi regulasi.

Seperti dikutif di laman idionline.org yang mempertanyakan urgensi Omnibus Kesehatan ini.

Disisi lain, latar belakang munculnya UU Omnibus Kesehatan tidak sekompleks UU Cipta Kerja. UU Kesehatan hanya akan menggabungkan 9 UU; sebagian besar UU tersebut bernuansa homogen karena bertema besar kesehatan.

Selama ini juga belum terdengar ribut-ribut terkait kontradiksi antar UU Kesehatan sebelumnya. Artinya, elemen kompleksitas, heterogenitas dan kontradiksi yang menjadi substansi pembuatan UU omnibus tidak jelas.

Dari sisi usia keberadaan regulasi itu masih terbilang singkat. Contohnya UU Kebidanan yang disahkan pada tahun 2018 dan 2019.
Menurut Iqbal Muhtar, Pengurus PB IDI menyebutkan bahwa saat ini, para stakeholders UU Kebidanan ini masih berjibaku mengimplementasikan aturan-aturan ini, termasuk melakukan sosialisasi intensif dan pembuatan aturan turunan.
Dalam kondisi demikian, mengapa tiba-tiba UU yang eksis ini ingin dihapus dan diganti dengan yang baru?

Pada Oktober 2022 dirinya mengaku pernah menyampaikan pandangan terkait   RUU Omnibus Kesehatan ini. Setidaknya menurutnya para penggagas RUU Omnibus Kesehatan dapat mempertimbangkan beberapa aspek. "DPR mestinya melakukan komunikasi intensif dengan stakeholder terkait. Mesti ada diskusi ilmiah dan penjelasan rasional mengapa UU yang eksis perlu dicabut, diganti atau disinergiskan," katanya.

Iqbal pun mempertanyakan, apakah ada kontradiksi serius antar UU tersebut?
Mesti ada tinjauan fisolosofis, yuridis, sosial dan kesehatan, yang terang benderang terkait urgensi UU omnibus. Alasan ‘berpotensi membingungkan’ tidak cukup menjadi justifikasi pembuatan UU baru.

Dengan telah disahkannya UU Kesehatan ini, beberapa organisasi profesi kesehatan pusat sedang mengadakan pertemuan terbatas.

Menunggu pernyataan resmi masing-masing organisasi profesi kesehatan tersebut, terkait langkah yang akan diambil.***

Editor: Saeful Ridwan

Sumber: Ikatan Dokter Indonesia Parlementaria


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah